Analogi Ibadah dalam Implementasi Perangkat Wireless Technology

Posted by Ae89 on Sabtu, 08 Mei 2010 | 0 komentar

Sekedar berbagi kepada para pembaca…
Terkadang kita melupakan bahwa segala sesuatu ilmu tidak terlepas dari ilmuNya. Ilmu Allah memang maha luas. Tak ada yang bisa menghitung ilmu-ilmu yang telah diberikanNya kepada seluruh umat manusia tanpa pandang siapa Tuhan yang disembahnya. Meski manusia tersebut ingkar terhadap Allah, namun Allah Maha Adil sehingga diberikan pula ilmu padanya. Begitulah prinsip “lakum dinukum waliyadin” yang telah diajarkan olehNya. Hanya saja yang disayangkan adalah terkadang manusia menyalahgunakan akal dan ilmu yang telah diberikanNya untuk kejahatan, untuk mendzalimi sesamanya. Bahkan tak tanggung-tanggung manusia yang telah diberi akal olehNya tersebut mempergunakan ilmuNya untuk menentang Allah. Na’udzubillahi min dzalik….
Kita sebagai Muslim, sudah seharusnya bersyukur atas segala ilmu yang telah diberikanNya. Mohonlah ilmu yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat kita, namun jangan lupa untuk berbagi kepada sesama.
Sebagaimana telah menjadi firman Allah di dalam Al Qur’an:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. yang mengajar (manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”. (Q.S. Al Alaq: 1-5).
“Katakanlah: ‘Adakah sama orang-orang yang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’ Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran”. (Q.S. Az Zumar: 9).
Begitulah, seharusnya manusia berpikir bahwa sebenarnya apa saja yang telah diajarkanNya itu nantinya akan kembali pada logika untuk menemukan hubungan antara ilmu dengan pembuktian akan keberadaan Dzat-Nya. Begitu pula dengan perkembangan teknologi wireless.
Wireless yang selama ini kita ketahui mempunyai konsep definisi sebagai komunikasi yang dilakukan tanpa kabel, melainkan melalui medium udara. Konsep ini memunculkan banyak temuan seperti pembuatan handphone sebagai alternatif pengganti telepon genggam. Juga internet yang menggunakan kabel akhirnya menggunakan fasilitas hotspot atau modem.
Dikaitkan dengan ibadah, salah satu perumpamaan yang bisa kita jadikan sebagai analogi indikator keimanan dan ibadah yakni handphone. Oleh karena itu, sebenarnya komunikasi kita dengan Allah bisa dianalogikan dengan komunikasi wireless menggunakan handphone (Hp). Handphone yang selama ini kita pergunakan menggunakan teknologi komunikasi wireless. Komunikasi dengan Hp bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Begitu pula komunikasi dengan Allah. Komunikasi kita dengan Allah bisa dilakukan dimanapun dan kapanpun. Bedanya, berkomunikasi menggunakan Hp memerlukan pulsa dan ada tenggang waktu untuk masa aktif kartu. Sedangkan untuk berkomunikasi dengan Allah itu tiada batasannya. Sungguh Allah Maha Pemurah. Dan jika komunikasi hanya terbatas yang kita dengar, maka tidak begitu komunikasi denganNya. Komunikasi denganNya akan jauh lebih menyeluruh, karena segala hal baik yang terlihat maupun yang disembunyikan oleh kita akan diketahui semuanya oleh Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatunya, baik yang diucapkan dengan berbisik, yang ada di dalam pikiran dan hati sekalipun.
Kemudian, menu-menu untuk meminta layanan di Hp banyak tersedia, misalnya untuk mengecek pulsa, mengisi pulsa, kirim sms, telpon, berbicara dengan operator, dsb. Sedangkan menu Allah jauh sempurna. Manusia bisa memilih menu puasa untuk mendapatkan pahala sunnah, menu sholat tahajjud untuk mendapatkan ketentraman hidup, menu sholat hajat untuk memohon suatu permintaan, dsb.
Lalu ada saatnya baterai untuk Hp tersebut menjadi lemah, istilahnya low battery. Jika sudah begitu, maka orang akan kelabakan bergegas untuk mencari charger dan mengisi ulang baterainya. Jika tidak, maka komunikasi dengan orang lain akan kesusahan karena Hp siap mati ketika asupan energy telah habis. Begitu pula dengan ibadah. Apakah selama ini kita pernah merasa takut kehilangan contact denganNya? Low battery seperti apakah yang berkaitan dengan ibadah? Mungkin saja datangnya ke-futur-an, kesibukan dunia yang tak tertahankan dan menggeser kewajiban-kewajiban manusia kepada Rabb-nya. Maka jika hal tersebut terjadi, maka kita tak boleh tinggal diam. Perlu usaha untuk men-charge kembali asupan keimanan. Tidak menunggu hingga iman kita “mati” seperti layaknya Hp yang tidak ter-charge. Cara men-charge misalnya menghadiri kajian-kajian agama, bersilaturahmi ke rumah orang-orang shalih, bersedekah, memperbanyak bacaan Al Qur’an. Meski tak aada niat dan semangat namun harus dipaksakan. Sama seperti analogi makan, jika sudah waktunya makan maka meski tidak ada nafsu makan namun harus tetap makan, jika tidak takut malah menimbulkan maag.
Dan sama ketika kita butuh untuk berkomunikasi namun terhambat dengan sinyal (wireless) yang putus-nyambung putus-nyambung. Tentu saja saat telepon sering terputus, sms kadang pending atau bahkan tak terkirim. Untuk sebagian orang mungkin diaanggap sebagai hal yang menjengkelkan apalagi jika kepentingannya mempunyai tingkat urgensi tinggi.
Lalu bagaimana jika komunikasi kita dengan Allah terputus-putus, sholat lima waktu masih sering bolong padahal notabene sehari hanya butuh waktu 5 kali sehari seperti resep obat, dan di sela-sela waktu sholat yang kosong kita tidak memperbanyak dzikir? Benar-benar terasa seperti raga tanpa jiwa. Menjalani dan mengejar-ngejar rutinitas duniawi namun kewajiban akhirat terlupakan. Sebenarnya Allah tidak membutuhkan sesuatu dari kita karena kita tak akan pernah memberikan manfaat bagiNya. Maksud yang ada disini adalah bahwa padahal sebenarnya ibadah itu adalah kebutuhan kita, Allah tidak butuh ibadah kita. Oleh karena itu, layaknya seseorang yang menelpon “pacar”nya, maka sudah seharusnya komunikasi dengan Allah lebih diperbanyak. Bagaimana mungkin seorang manusia yang diciptakan dengan cintaNya malah menomorduakan cinta kepadaNya.
Maka, jadilah kita sebagai orang yang berilmu dan mampu menafsirkan hakikat firmanNya. Seharusnya setiap tindakan harus atas dasar ibadah padaNya, seperti menuntut ilmu. Ilmu tak akan pernah datang melainkan ada yang menurunkannya. Oleh karena itu, sudah jelas bahwa Al Quran itu diturunkan untuk menjadi petunjuk bagi orang-orang yang berpikir.
(Inilah sepotong ilmu yang saya dapatkan ketika melakukan riset tugas akhir. Seorang narasumber yang budiman menyisipkan tausiyahnya dalam penyampaian beliau, dan hal itu menjadi inspirasi bagi saya untuk menulis artikel ini. Semoga bermanfaat untuk direnungkan oleh kita semua. Amin….).